Nasi dan ikan disebut sebagai dua makanan yang terus ada dari zaman ke zaman di Indonesia sejak masa Paleolitikum (50.000 hingga 100.000 tahun lalu), seperti dicatatkan dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia.
Pada masa itu, makanan di Asia Tenggara telah terbentuk berdasarkan karakter geografisnya, termasuk padi-padian yang tumbuh subur di barat, sementara umbi-umbian subur di timur.
Saking suburnya, lahan tani di Jawa menjadi sumber beras bagi pulau-pulau lainnya, seperti yang terpantau oleh Thomas Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jawa (1811-1816), yang menuliskan kekaguman akan suburnya tanah Jawa dalam buku The History of Java.
Di sisi lain, faktor kerekatan masyarakat Indonesia dan nasi juga punya catatan tersendiri. Konsumsinya jauh tidak berimbang, setidaknya tercatat pada abad ke-19.
Saat itu, Dr CL van der Burg, ilmuwan yang merintis persoalan kesehatan dan higienitas di Hindia, mendapati konsumsi nasi (karbohidrat) orang Indonesia lebih banyak dibanding orang Eropa di Hindia Belanda, berdasarkan catatan Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia.
Orang Eropa mengonsumsi protein 15,4 persen, lemak 31,3 persen, dan karbohidrat 53,3 persen. Sementara itu, pribumi (orang Indonesia) hanya mengonsumsi protein 9,3 persen, lemak 9,9 persen saja, sedangkan karbohidrat terlampau tinggi hingga 80,8 persen.
Memang, ada banyak faktor yang membuat konsumsi nasi di Indonesia tinggi. Lahan pertaniannya subur dan melimpah, seperti sudah disebutkan di atas. Ada juga faktor kemiskinan sehingga nasi rentan digunakan untuk mengenyangkan diri.
Lalu faktor lainnya adalah kurang informasi di antara masyarakat soal pilihan karbohidrat. Oleh karena itu, tidak heran jika Presiden Soekarno pada 1960-an kemudian berpandangan untuk melahirkan buku Mustika Rasa.
Buku tersebut menjelaskan bahwa masyarakat punya alternatif makanan selain beras sebagai sumber karbohidrat, bahkan menciptakan makanan-makanan baru yang bahannya berasal dari daerah masing-masing, seperti juga negara lain memanfaatkan kacang kedelai sebagai penganan.
Internet dan isu diabetes
Nasi boleh terus ada dari zaman ke zaman. Namun, saat ini konsumsi nasi sering dikaitkan dengan terjadinya penyakit yang disebut diabetes melitus atau kencing manis.
Pandangan tersebut cukup umum pada masa kini. Walau demikian, dulu, ketika survei Van der Burg itu dibuat, diabetes belum menjadi isu penting.
Boleh jadi, hal ini karena orang Indonesia dan Belanda zaman dulu yang disurvei oleh Van der Burg merupakan para pekerja. Oleh sebab itu, meskipun karbohidrat yang dikonsumsi cukup besar, jumlahnya tetap sesuai dengan energi yang mereka keluarkan.
Ketika memasuki tahun 1995, barulah jumlah penyandang diabetes membengkak. Total terdapat 4,5 juta penderita diabetes di Indonesia menurut International Diabetes Federation (IDF), seperti tercatat dalam buku Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes, tanpa menyebutkan tingkatan usia.
IDF melalui situsnya kemudian memperbarui data pada tahun 2015 bahwa jumlah pasien (terdaftar berdasarkan usia 20-79 tahun) sudah sebanyak 10,021 juta jiwa. Angka ini pun hanya mewakilkan mereka yang terdata menderita diabetes, tidak termasuk mereka yang belum terdiagnosis menderita diabetes.
Mengapa penderita diabetes terus bertambah? Langsung atau tidak langsung, ini ada hubungannya dengan perkembangan teknologi.
Alat transportasi kian berkembang sehingga kita tidak harus bergerak aktif untuk berpindah tempat. Kita juga bahkan tidak perlu banyak bergerak lagi dan cukup diam saja di rumah untuk, misalnya, sekadar memesan makanan lewat smartphone.
Perkembangan dunia internet membuat segala segi kehidupan menjadi lebih mudah dan cepat hanya dengan sentuhan jari.
Tahun 2016 saja, data Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet dari total penduduk 256,2 juta jiwa. Pendek kata, separuh lebih dari jumlah total orang Indonesia kini menjalani sebagian aktivitasnya hanya dengan mengandalkan tenaga jari.
“Kurang olahraga, terlalu banyak duduk, dan pola makan yang salah merupakan penyebab penyakit ini (diabetes),” kata dr Rochismandoko, spesialis penyakit dalam, dalam peluncuran aplikasi Dokter Diabetes, seperti dikutip dari Kompas.com.
Diabetes melitus secara umum terjadi karena tingginya kadar gula dalam darah yang terjadi akibat kelainan metabolisme karbohidrat akibat ketidakmampuan secara mutlak atau relatif dari aktivitas hormon insulin.
Persoalannya, kini yang diwanti-wanti dalam urusan diabetes bukan lagi jumlah pasien. WHO menunjukkan data jumlah angka kematian karena diabetes semakin meningkat.
Pada tahun 2016 saja, di Indonesia sudah ada 99.400 kasus kematian akibat diabetes. Angka tersebut menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab kematian nomor 4 terbesar di Indonesia, setelah penyakit jantung, kanker, dan kecelakaan.
Walau demikian, tentu bukan berarti nasi dan teknologi patut untuk disalahkan. Nasi atau sumber karbohidrat lain masih kita butuhkan, tetapi jumlahnya jangan berlebihan.
Di samping itu, internet memang kian mempermudah segala urusan, tetapi jangan lupa untuk tetap bergerak aktif dengan berolahraga. Dalam hal ini, kontrol di diri masing-masinglah yang diperlukan, termasuk soal makanan.
Misalnya, coba snacking 2 jam sebelum makan untuk membantu mengurangi porsi karbohidrat berlebih. Lirik snack yang kaya serat dan protein, seperti SOYJOY yang terbuat dari kedelai. Kandungan serat dan protein yang tinggi membuat kenyang lebih lama.
Pada intinya, nasi bisa tetap eksis dari zaman ke zaman. Teknologi pun terus berkembang dari zaman ke zaman. Karena itu pula, kontrol diri juga harus membuat kita bertahan dari zaman ke zaman.